Minggu, 20 Mei 2012

TEORI HUKUM ROSCOE POUND (1870-1964) TENTANG SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE DAN SOCIAL ENGINEERING


TEORI HUKUM ROSCOE POUND (1870-1964) TENTANG
SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE DAN SOCIAL ENGINEERING


PENDAHULUAN

Roscoe Pound adalah ahli hukum pertama menganalisis yurisprudensi serta metodologi ilmu-ilmu sosial. Hingga saat itu, filsafat yang telah dianut selama berabad-abad dituding telah gagal dalam menawarkan teori semacam itu, fungsi logika sebagai sarana berpikir semakin terabaikan dengan usaha-usaha yang dilakukan oleh Langdell serta para koleganya dari Jerman. Pound menyatakan bahwa hukum adalah lembaga terpenting dalam melaksanakan kontrol sosial. Hukum secara bertahap telah menggantikan fungsi agama dan moralitas sebagai instrumen penting untuk mencapai ketertiban sosial. Menurutnya, kontrol sosial diperlukan untuk melestarikan peradaban karena fungsi utamanya adalah mengendalikan “aspek internal atau sifat manusia”, yang dianggapnya sangat diperlukan untuk menaklukkan aspek eksternal atau lingkungan fisikal.
Pound menyatakan bahwa kontrol sosial diperlukan untuk menguatkan peradaban masyarakat manusia karena mengendalikan perilaku antisosial yang bertentangan dengan kaidah-kaidah ketertiban sosial. Hukum, sebagai mekanisme control sosial, merupakan fungsi utama dari negara dan bekerja melalui penerapan kekuatan yang dilaksanakan secara sistematis dan teratur oleh agen yang ditunjuk untuk melakukan fungsi itu. Akan tetapi, Pound menambahkan bahwa hukum saja tidak cukup, ia membutuhkan dukungan dari institusi keluarga, pendidikan, moral, dan agama. Hukum adalah sistem ajaran dengan unsur ideal dan empiris, yang menggabungkan teori hukum kodrat dan positivistik.
Pound mengatakan bahwa hokum kodrati dari setiap masa pada dasarnya berupa sebuah hokum kodrati yang “positif”, versi ideal dari hukum positif pada masa dan tempat tertentu, “naturalisasi” untuk kepentingan kontrol sosial manakala kekuatan yang ditetapkan oleh masyarakat yang terorganisasi tidak lagi dianggap sebagai alat pembenar yang memadai.
Ia mengakui kekaburan dari ketiga pengertian dari istilah hukum: hukum sebagai kaidah sosial, badan hukum sebagai badan yang otoritatif, serta hukum sebagai proses peradilan. Sehubungan dengan itu, Pound berusaha menyatukan ketiga pengertian tadi ke dalam sebuah definisi. Ia mendefinisikan hukum dengan fungsi utama dalam melakukan kontrol sosial: Hukum adalah suatu bentuk khusus dari kontrol sosial, dilaksanakan melalui badan khusus berdasarkan ajaran yang otoritatif, serta diterapkan dalam konteks dan proses hukum serta administrasi.
Pound pun mengakui bahwa fungsi lain dari hukum adalah sebagai sarana untuk melakukan rekayasa sosial (social engineering). Keadilan bukanlah hubungan sosial yang ideal atau beberapa bentuk kebajikan. Ia merupakan suatu hal dari “penyesuaian-penyesuaian hubungan tadi dan penataan perilaku sehingga tercipta kebaikan, alat yang memuaskan keinginan manusia untuk memiliki dan mengerjakan sesuatu, melampaui berbagai kemungkinan terjadinya ketegangan, inti teorinya terletak pada konsep “kepentingan”. Ia mengatakan bahwa sistem hukum mencapai tujuan ketertiban hukum dengan mengakui kepentingan-kepentingan itu, dengan menentukan batasan-batasan pengakuan atas kepentingan-kepentingan tersebut dan aturan hukum yang dikembangkan serta diterapkan oleh proses peradilan memiliki dampak positif serta dilaksanakan melalui prosedur yang berwibawa, juga berusaha menghormati berbagai kepentingan sesuai dengan batas-batas yang diakui dan ditetapkan.
Pound mengatakan bahwa kebutuhan akan adanya kontrol sosial bersumver dari fakta mengenai kelangkaan. Kelangkaan mendorong kebutuhan untuk menciptakan sebuah sistem hukum yang mampu mengklasifikasikan berbagai kepentingan serta menyahihkan sebagian dari kepentingan-kepentingan itu. Ia menyatakan bahwa hukum tidak melahirkan kepentingan, melainkan menemukannya dan menjamin keamanannya. Hukum memilih untuk berbagai kepentingan yang dibutuhkan untuk mempertahankan dan mengembangan peradaban. Pound mengakui adanya tumpang tindih dari berbagai kelompok kepentingan, yaitu antara kepentingan individual atau personal dengan kepentingan public atau sosial. Semua itu diamankan melalui dan ditetapkan dengan status “hak hukum”.
Roscoe Pound memiliki pendapat mengenai hukum yang menitik beratkan hukum pada kedisiplinan dengan teorinya yaitu: “Law as a tool of social engineering” (Bahwa Hukum adalah alat untuk memperbaharui atau merekayasa masyarakat). Untuk dapat memenuhi peranannya Roscoe Pound lalu membuat penggolongan atas kepentingan-kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum itu sendiri, yaitu sebagai berikut:
1.      Kepentingan Umum (Public Interest)
a.       Kepentingan negara sebagai Badan Hukum
b.      Kepentingan negara sebagai penjaga kepentingan masyarakat.
2.      Kepentingan Masyarakat (Social Interest)
a.       Kepentingan akan kedamaian dan ketertiban
b.      Perlindungan lembaga-lembaga sosial
c.       Pencegahan kemerosotan akhlak
d.      Pencegahan pelanggaran hak
e.       Kesejahteraan sosial.
3.      Kepentingan Pribadi (Private Interest)
Kepentingan individu
Kepentingan keluarga
Kepentingan hak milik.
Menurut Roscoe Pound untuk membantu para mahasiswa yang belajar Ilmu Hukum perlu kiranya dikemukakan tentang Disiplin ilmu Hukum.
Ilmu hukum termasuk kedalam ilmu pengetahuan kemasyarakatan yang khusus mempelajari mengenai tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan kaidah-kaidah hidupnya terutama yang berlaku pada masa kini (hukum positif).
Kemudian hal-hal yang termasuk ke dalam ilmu hukum itu adalah :
1.      Ilmu Kaidah
2.      Ilmu Pengertian
3.      Ilmu Kenyataan.
Sedangkan kaidah hukum menurut Pound terdiri dari tiga macam yaitu :
1.      Kaidah-kaidah hukum yang berisikan suruhan
2.      Kaidah-kaidah hukum yang berisikan larangan
3.      Kaidah-kaidah hukum yang berisikan kebolehan.


KONSEP HUKUM ROSCOE POUND
TENTANG LAW AS A TOOL OF SOCIAL ENGINEERING

Law as a tool of sosial engineering merupakan teori yang dikemukakan oleh Roscoe Pound, yang berarti hukum sebagai alat pembaharuan dalam masyarakat, dalam istilah ini hukum diharapkan dapat berperan merubah nilai-nilai sosial dalam masyarakat. Dengan disesuaikan dengan situasi dan kondisi di Indonesia, konsepsi “law as a tool of social engineering” yang merupakan inti pemikiran dari aliran pragmatic legal realism itu, oleh Mochtar Kusumaatmadja kemudian dikembangkan di Indonesia. Menurut pendapat Mochtar Kusumaatmadja[1], konsepsi hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat Indonesia lebih luas jangkauan dan ruang lingkupnya daripada di Amerika Serikat tempat kelahirannya, alasannya oleh karena lebih menonjolnya perundang-undangan dalam proses pembaharuan hukum di Indonesia (walau yurisprudensi memegang peranan pula) dan ditolaknya aplikasi mekanisme daripada konsepsi tersebut yang digambarkan akan mengakibatkan hasil yang sama daripada penerapan faham legisme yang banyak ditentang di Indonesia. Sifat mekanisme itu nampak dengan digunakannya istilah “tool” oleh Roscoe Pound. Itulah sebabnya mengapa Mochtar Kusumaatmadja cenderung menggunakan istilah “sarana” daripada alat. Disamping disesuaikan dengan situasi dan kondisi di Indonesia konsepsi tersebut dikaitkan pula dengan filsafat budaya dari Northrop[2] dan policy-oriented dari Laswell dan Mc Dougal. Hukum yang digunakan sebagai sarana pembaharuan itu dapat berupa undang-undang atau yurisprudensi atau kombinasi keduanya, seperti telah dikemukakan dimuka, di Indonesia yang paling menonjol adalah perundang-undangan, yurisprudensi juga berperan namun tidak seberapa. Agar supaya dalam pelaksanaan perundang-undangan yang bertujuan untuk pembaharuan itu dapat berjalan sebagaimana mestinya, hendaknya perundang-undangan yang dibentuk itu sesuai dengan apa yang menjadi inti pemikiran aliran sociological Jurisprudence yaitu hukum yang baik hendaknya sesuai dengan hukum yang hidup didalam masyarakat[3]. Sebab jika ternyata tidak, akibatnya ketentuan tersebut akan tidak dapat dilaksanakan dan akan mendapat tantangan-tantangan. Beberapa contoh perundang-undangan yang berfungsi sebagai sarana pembaharuan dalam arti merubah sikap mental masyarakat tradisional kearah modern, misalnya larangan penggunaan koteka di Irian Jaya, keharusan pembuatan sertifikat tanah dan sebagainya[4].
Dalam hal ini dengan adanya fungsi hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat, dapat pula diartikan, bahwa hukum digunakan sebagai alat oleh agent of change yang merupakan pelopor perubahan yaitu seseorang atau sekelompok orang yang mendapatkan kepercayaan masyarakat sebagai pemimpin dari satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan. Pelopor ini melakukan penekanan untuk mengubah sistem sosial[5], mempengaruhi masyarakat dengan sistem yang direncanakan terlebih dahulu disebut social engineering ataupun planning atau sebagai alat rekayasa sosial.
Law as a tool of social engineering dapat pula diartikan sebagai sarana yang ditujukan untuk mengubah perilaku warga masyarakat, sesuai dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya[6]. Salah satu masalah yang dihadapi di dalam bidang ini adalah apabila terjadi apa yang dinamakan oleh Gunnar Myrdal sebagai softdevelopment yaitu dimana hukum-hukum tertentu yang dibentuk dan diterapkan ternyata tidak efektif[7]. Gejala-gejala semacam itu akan timbul, apabila ada faktor-faktor tertentu yang menjadi halangan. Faktor-faktor tersebut dapat berasal dari pembentuk hukum, penegak hukum, para pencari keadilan, maupun golongan-golongan lain dalam masyarakat. Faktor-faktor itulah yang harus diidentifikasikan, karena suatu kelemahan yang terjadi kalau hanya tujuan-tujuan yang dirumuskan tanpa mempertimbangkan sarana-sarana untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. kalau hukum merupakan sarana yang dipilih untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut maka prosesnya tidak hanya berhenti pada pemilihan hukum sebagai sarana saja tetapi pengetahuan yang mantap tentang sifat-sifat hukum juga perlu diketahui untuk agar tahu batas-batas di dalam penggunaan hukum sebagai sarana untuk mengubah ataupun mengatur perilaku warga masyarakat. Sebab sarana yang ada, membatasi pencapaian tujuan, sedangkan tujuan menentukan sarana-sarana mana yang tepat untuk dipergunakan.
Hukum di dalam masyarakat modern saat ini mempunyai ciri menonjol yaitu penggunaannya telah dilakukan secara sadar oleh masyarakatnya. Di sini hukum tidak hanya dipakai untuk mengukuhkan pola-pola kebiasaan dan tingkah laku yang terdapat dalam masyarakat, melainkan juga untuk mengarahkannya kepada tujuan-tujuan yang dikendaki, menghapuskan kebiasaan yang dipandangnya tidak sesuai lagi, menciptakan pola-pola kelakuan baru dan sebagainya. Inilah yang disebut sebagai pandangan modern tentang hukum itu yang menjurus kepada penggunaan hukum sebagai instrument[8] yaitu law as a tool social engineering.
Penggunaan secara sadar tadi yaitu[9] penggunaan hukum sebagai sarana mengubah masyarakat atau sarana pembaharuan masyarakat itu dapat pula disebut sebagai social engineering by the law. Dan langkah yang diambil dalam social engineering itu bersifat sistematis, dimulai dari identifikasi problem sampai kepada jalan pemecahannya, yaitu :
1.      Mengenal problem yang dihadapi sebaik-baiknya. Termasuk di dalamnya mengenali dengan seksama masyarakat yang hendak menjadi sasaran dari penggarapannya tersebut.
2.      Memahami nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, hal ini penting dalam hal social engineering itu hendak diterapkan pada masyarakat dengan sektor-sektor kehidupan majemuk, seperti tradisional, modern dan perencanaan. Pada tahap ini ditentukan nilai-nilai dari sektor mana yang dipilih.
3.      Membuat hipotesa-hipotesa dan memilih mana yang paling layak untuk bisa dilaksanakan.
4.      Mengikuti jalannya penerapan hukum dan mengukur efek-efeknya.


KONSEP HUKUM ROSCOE POUND
TENTANG SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE

Roscoe Pound adalah salah satu ahli hukum yang beraliran Sociological Jurisprudence yang lebih mengarahkan perhatiannya pada ”Kenyataan Hukum” daripada kedudukan dan fungsi hukum dalam masyarakat. Kenyataan hukum pada dasarnya adalah kemauan publik, jadi tidak sekedar hukum dalam pengertian law in books. Sociological Jurisprudence menunjukkan kompromi yang cermat antara hukum tertulis sebagai kebutuhan masyarakat hukum demi terciptanya kepastian hukum (positivism law) dan living law sebagai wujud penghargaan terhadap pentingnya peranan masyarakat dalam pembentukan hukum dan orientasi hukum[10].

Fungsi Utama Hukum
Fungsi utama hukum adalah untuk melindungi kepentingan yang ada dalam masyarakat. Menurut Roscoe Pound ada tiga kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum, yaitu public interest; individual interest; dan interest of personality. Rincian dari setiap kepentingan tersebut bukan merupakan daftar yang mutlak tetapi berubah-ubah sesuai perkembangan masyarakat. Jadi, sangat dipengaruhi oleh waktu dan kondisi masyarakat. Apabila kepentingan-kepentingan tersebut disusun sebagai susunan yang tidak berubah-ubah, maka susunan tersebut bukan lagi sebagai social engineering tetapi merupakan pernyataan politik (manifesto politik)[11].

Tugas Utama Hukum
Tugas utama hukum adalah rekayasa sosial (law as a tool of social engineering, Roscoe Pound). Hukum tidak saja dibentuk berdasarkan kepentingan masyarakat tetapi juga harus ditegakkan sedemikian rupa oleh para yuris sebagai upaya sosial kontrol dalam arti luas yang pelaksanaannya diorientasikan kepada perubahan-perubahan yang dikehendaki[12].
Oleh karena itu, sangat dipengaruhi oleh komponen-komponen di luar hukum, maka para penegak hukum dalam mewujudkan tugas utama hukum harus memahami secara benar logika, sejarah, adat, istiadat, pedoman prilaku yang benar agar keadilan dapat ditegakkan. Keputusan hukum yang adil dapat digunakan sebagai sarana untuk mengembangkan masyarakat. Tugas utama adalah sarana pembaharuan masyarakat dalam pembangunan.

Peran Strategis Hakim dalam Perspektif Sociological Jurisprudence
Kehidupan hukum sebagai kontrol sosial terletak pada praktek pelaksanaan atau penerapan hukum tersebut. Tugas hakim dalam menerapkan hukum tidak melulu dipahami sebagai upaya social control yang bersifat formal dalam menyelesaikan konflik, tetapi sekaligus mendisain penerapan hukum itu sebagai upaya social engineering. Tugas yudisial hakim tidak lagi dipahami sekedar sebagai penerap undang-undang terhadap peristiwa konkrit (berupa berbagai kasus dan konflik) atau sebagai sekedar corong undang-undang (boncha de la loi) tetapi juga sebagai penggerak social engineering. Para penyelenggara hukum harus memperhatikan aspek fungsional dari hukum yakni untuk mencapai perubahan, dengan melakukan perubahan hukum selalu dengan menggunakan segala macam teknik penafsiran (teori hukum fungsional).

Teori Hukum Menurut Roscoe Pound
“Law is a tool of social engineering” adalah apa yang dikatakan oleh Roscoe Pound terhadap hukum itu. Sama seperti apa yang dikatakan oleh Mochtar Kusumaatmadja, hukum adalah keseluruhan azas-azas dan kaedah-kaedah yang mengatur masyarakat, termasuk di dalamnya lembaga dan proses untuk mewujudkan hukum itu ke dalam kenyataan. Kedua ahli hukum ini memiliki pandangan yang sama terhadap hukum[13].
Kepentingan negara adalah harus yang paling tinggi/atas dikarenakan negara mempunyai kepentingan nasional. Kepentingan nasional tersebut harus melindungi kepentingan negara kemauan negara adalah kemauan publik. Karena hukum itu bukan seperti yang dikatakan oleh teori-teori positivis menghukum bahwa hukum memiliki sifat tertutup. Hukum sangat dipengaruhi oleh ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya. Tidak hanya sekedar kemauan pemerintan. Suatu logika yang terbuka, perkembangan kebutuhan masyarakat sangat mempengaruhi pertumbuhan hukum di dalam masyarakat. Politik sangat mempengaruhi pertumbuhan hukum di dalam masyarakat[14].

Fungsi Utama Hukum
Salah satu masalah yang dihadapi adalah menemukan sistem dan pelaksanaan penegakan hukum yang dapat menjelmakan fungsi hukum dengan baik seperti fungsi kontrol sosial, fungsi menyelesaikan perselisihan, fungsi memadukan, fungsi memudahkan, fungsi pembaharuan, fungsi kesejahteraan dan lain-lain. Pada saat ini, perbedaan-perbedaan fungsi hukum tersebut, sering kali menjadi unsur yang mendorong timbulnya perbedaan mengenai tujuan menerapkan hukum. Ada yang lebih menekankan pada fungsi kontrol sosial, atau fungsi perubahan, dan lain-lain. Kalau masing-masing pihak menuntut menurut keinginannya sendiri-sendiri maka yang timbul adalah permasalahan hukum bukan penyelesaian hukum. Bahkan menimbulkan konflik yang berkonotasi saling menyalahkan, saling menuduh, dan lain-lain. Fungsi utama hukum adalah untuk melindungi kepentingan yang ada dalam masyarakat. Seperti yang dibahas pada topik sebelumnya dalam konteks kepentingan menurut Roscoe Pound. Rincian dari tiap-tiap kepentingan tersebut bukan merupakan daftar yang mutlak tetapi berubah-ubah sesuai dengan perkembangan masyarakat. Jadi, sangat dipengaruhi oleh waktu dan kondisi masyarakat.Apabila susunan kepentingan-kepentingan tersebut disusun sebagai susunan yang tidak berubah-ubah, maka susunan tersebut bukan lagi sebagai social engineering tetapi merupakan pernyataan politik (manifesto politik).


    
KONSEP ROSCOE POUND
TENTANG SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE DAN RELEVANSINYA TERHADAP PEMBANGUNAN SISTEM HUKUM INDONESIA

Keadilan adalah kepentingan manusia yang paling luhur di bumi ini. Bagaimanapun juga keadilan itulah yang dicari orang tiada hentinya, diperjuangkan oleh setiap orang dengan gigihnya, dinantikan oleh orang dengan penuh kepercayaan tetapi perkataan keadilan mempunyai lebih dari satu arti. Di dalam etika, keadilan dapat dianggap sebagai budi pekerti perseorangan atau sebagai suatu keadaan dengan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan atau tuntutan-tuntutan manusia secara adil dan layak. Di dalam ilmu ekonomi dan ilmu politik berbicara tentang keadilan sosial sebagai suatu sistem yang menjamin kepentingan-kepentingan atau kehendak manusia yang selaras dengan cita-cita kemasyarakatan. Di dalam hukum berbicara tentang pelaksanaan keadilan tersebut yang berarti mengatur hubungan-hubungan dan menerbitkan kelakuan manusia di dalam dan melalui aturan-aturan tentang tingkah laku.
Gagasan negara berdasar atas hukum muncul dari para pendiri bangsa ini dengan dilandasi oleh prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan sosial, artinya hukum dan segala wujud nilai-nilai yang kemudian diimplementasikan kedalam peraturan perundang-undangan tidak boleh menyimpang, baik secara nyata maupun tersamar dari prinsip-prinsip demokrasi maupun keadilan sosial. Hukum dalam gagasan para pendiri tersebut justru seyogyanya menjadi dasar pertama dan utama bagi nilai-nilai demokrasi dan keadilan sosial. Dalam negara hukum maka negara berfungsi menegakkan keadilan, melindungi hak-hak sosial dan politik warga negara dari pelanggaran-pelanggaran, baik yang dilakukan oleh penguasa maupun warga negara sehingga warga negara yang ada dapat hidup secara damai dan sejahtera sesuai dengan yang diamanatkan oleh UUD 1945.
Pembangunan merupakan upaya sadar yang dilakukan untuk merubah sutu kondisi yang dianggap kurang baik tau bahkan buruk ke kondisi atau keadaan yang baik. Pembnagunan yang ada dilaksanakan tentu saja dengan berpijak pada hukum yang jelas, dapat dipertanggungjawabkan, terarah, serta proposional dalam hal fisik maupun non fisik.
Pada dasarnya, semua masyarakat yang sedang membangun selalu dicirikan oleh perubahan dan pembangunan. Oleh karena itu, bagaimanapun pembangunan diartikan atau dimaknai serta apapun ukuran yang digunakan oleh masayarakat dalam pembangunan pasti didasarkan atas tujuan untuk kesejahteraan masyarakat dengan menjamin bahwa pembangunan yang ada berjalan secara damai dan teratur.
Istilah pembaharuan hukum pada dasarnya mengandung makna yang luas, menurut Friedman, sistem hukum terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu: (1) struktur kelembagaan hukum, yang terdiri dari sistem dan mekanisme kelembagaan yang menopang pembentukan dan penyelenggaraan hukum di Indonesia, termasuk di antaranya adalah lembaga-lembaga peradilan, aparatur penyelenggara hukum, mekanisme-mekanisme penyelenggaraan hukum, dan sistem pengawasan pelaksanaan hukum. (2) materi hukum, yaitu meliputi kaedah-kaedah yang telah dituangkan ke dalam peraturan perundang-undangan tertulis maupun yang tidak tertulis yang hidup dan berkembang dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta bersifat mengikat bagi semua lapisan masyarakat dan (3) budaya hukum. Ketiga unsur penopang sistem hukum tersebut saling berkaitan dalam rangka bekerja menggerakkan roda hukum suatu negara (Friedman, 1990:5-6).
Dalam prosesnya, ternyata pembangunan membawa konsekuensi terjadinya perubahan di beberapa aspek sosial termasuk pranata hukum. Artinya perubahan yang dilakukan dalam perjalannya menuntut adanya perubahan-perubahan dalam bentuk hukum. Perubahan tersebut memiliki arti positif dalam rangka menciptakan sistem hukum baru yang sesuai dengan kondisi nilai-nilai yang ada pada masyarakat.
Pada dasarnya pembangunan hukum merupakan upaya untuk merombaka struktur hukum lama yang merupakan warisan kolonial dan dianggap eksploitatif dan diskriminatif sedangkan dilain pihak pembangunan sistem hukum dilaksanakan dalam rangka untuk memenuhi tuntutan perkembangan masyarakat yang sangat kompleks serta cenderung untuk berubah kapan saja.
Hukum diakui memiliki peran yang sangat penting dan strategis dalam memacu percepatan pembangunan suatu negara. Usaha ini tidak semata-mata dalam rangka memenuhi tuntutan pembangunan jangka pendek tetapi juga jangka menengah serta jangka panjang walaupun disadari setiap saat hukum dapat berubah sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Pada negara berkembang seperti Indonesia pembangunan hukum menjadi prioritas utama, terlebih lagi jika negara yang dimaksud merupakan negara yang baru merdeka dari penjajahan bangsa lain. Oleh karena itu pembangunan hukum di negara berkembang senantiasa mengesankan adanya peranan ganda. Pertama, sebagai upaya untuk melepaskan diri sendiri dari lingkaran struktur kolonial. Upaya tersebut terdiri dari penghapusan, penggantian dan penyesuaian ketentuan hukum warisan kolonial guna memenuhi tuntutan masyarakat nasional. Kedua, pembangunan hukum berperan pula dalam mendorong proses pembangunan, terutama pembangunan dalam bidang ekonomi yang memang diperlukan dalam rangka mengejar ketertinggalan dari negara maju, dan demi kepentingan kesejahteraan masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA

Roscoe Pound. 1996. Pengantar Filsafat Hukum. Bhratara Niaga Media : Jakarta.
Dewa Gede Wirasatya P.
Catatan Perkuliahan Sosiologi Hukum Prof.Sirtha. Program Pasca Sarjana Kenotariatan Universitas Brawijaya. 2010
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi. 2007. Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum. PT. CitraAditya Bakti : Bandung.
             Ira Thania Rasjidi, 2002, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung.
Soetiksno. 1997. Filsafat Hukum Bagian I. PT. Pradnya Paramita : Jakarta, cetakan kedelapan.
AA N Gede Dirksen. 2009. Pengantar Ilmu Hukum : Diktat Untuk kalangan sendiri Tidak Diperdagangkan. Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Mochtar Kusumaatmadja. Hukum, Masyarakat, dan Pembangunan. Binacipta : Bandung.
Rahardjo, Satjipto. 2006. Ilmu Hukum. Citra Aditya Bakti : Bandung.
Soekanto Soerjono. 2009. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Rajawali Pers : Jakarta.


[1]   Lihat Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Binacipta, h.9
[2]   Ibid
[3]   Lili Rasjidi,Ira Thania Rasjidi, 2002, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, h. 74
[4]   Ibid
[5]   AA N Gede Dirksen, 2009, Pengantar Ilmu Hukum, Diktat Untuk kalangan sendiri Tidak Diperdagangkan,, Fakultas Hukum Universitas Udayana, h.89.
[6]   Soekanto Soerjono, 2009, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta, Rajawali Pers, h. 135
[7]   Ibid
[8]   Rahardjo, Satjipto, 2006, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 206
[9]   Ibid
[10]   Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra AdityaBakti, Bandung, 2007.
[11] Ibid.hal 66
[12] Dewa Gede Wirasatya P. Catatan Perkuliahan Sosiologi Hukum Prof.Sirtha, 2010 
[13] Ibid.hal 66
[14] Dewa Gede Wirasatya P. Catatan Perkuliahan Sosiologi Hukum Prof.Sirtha,2010

MENINGKATKAN KEPATUHAN WAJIB PAJAK MELALUI KUALITAS PELAYANAN DALAM SISTEM SELF ASSESSMENT


MENINGKATKAN KEPATUHAN WAJIB PAJAK MELALUI
KUALITAS PELAYANAN DALAM SISTEM SELF ASSESSMENT


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sumber-sumber penerimaan negara dapat dikelompokkan menjadi penerimaan yang berasal dari sektor Pajak, kekayaan alam, bea & cukai, retribusi, iuran, sumbangan, laba dari Badan Usaha Milik Negara dan sumber-sumber lainnya. Pemungutan pajak telah dilakukan sejak saat Negara Indonesia belum meraih kemerdekaannya hingga saat sekarang ini, namun pada saat itu, istilah pajak belum digunakan, istilah yang digunakan pada saat itu di antaranya adalah Upeti. Pajak merupakan salah satu penghasil devisa terbesar bagi keuangan negara yang sangat berperan terutama dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional, hasil dari pajak ini akan dikelola dan kemudian akan digunakan kembali oleh Pemerintah untuk rakyat.
Dalam menjalankan pemerintahan dan pembangunan, pemerintah membutuhkan dana yang tidak sedikit. Dana tersebut dikumpulkan dari segenap potensi sumber daya yang dimiliki suatu negara, baik berupa hasil kekayaan alam maupun iuran dari masyarakat. Salah satu bentuk iuran masyarakat adalah pajak. Sebagai salah satu unsur penerimaan negara, pajak memiliki peran yang sangat besar dan semakin diandalkan untuk kepentingan pembangunan dan pengeluaran pemerintahan.
Kontribusi penerimaan pajak terhadap penerimaan negara diharapkan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Salah satu penyebab peningkatan penerimaan pajak adalah karena sejak tahun fiskal 1984 pemerintah memberlakukan reformasi perpajakan dengan menerapkan sistem self assessment dalam pemungutan pajak. Berbeda dengan sistem pemungutan pajak sebelumnya, yaitu official assessment system. Sistem self assessment memberikan kepercayaan penuh kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan seluruh pajak yang menjadi kewajibannya. Dengan kata lain, wajib pajak menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.
Salah satu upaya dalam meningkatkan kepatuhan wajib pajak adalah memberikan pelayanan yang baik kepada wajib pajak. Peningkatan kualitas dan kuantitas pelayanan diharapkan dapat meningkatkan kepuasan kepada wajib pajak sebagai pelanggan sehingga meningkatkan kepatuhan dalam bidang perpajakan. Paradigma baru yang menempatkan aparat pemerintah sebagai abdi negara dan masyarakat (wajib pajak) harus diutamakan agar dapat meningkatkan kinerja pelayanan publik.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah “Keterkaitan Kualitas Pelayanan Dalam Sistem Self Assessment dengan Upaya Meningkatkan Kepatuhan Wajib Pajak dalam Membayar Pajak”.

C.    Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui bahwa kualitas pelayanan dalam sistem self assessment berpengaruh dengan upaya menigkatkan kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sistem Pemungutan Pajak
Sistem pemungutan pajak dapat dibagi menjadi tiga, yaitu official assesment system, self assessment system, dan withholding system. Official assessment system adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada  pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang. Self assessment system adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar. Withholding System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.
Sistem Self Assessment adalah suatu sistem yang memberikan kepercayaan dan tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan dan membayar sendiri jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Selain itu Wajib pajak diwajibkan pula melaporkan secara teratur jumlah pajak yang terutang dan telah dibayar sebagaimana ditentukan dalam peraturan perpajakan. Pembayaran pajak selama tahun berjalan pada dasarnya merupakan angsuran pajak untuk meringankan beban wajib pajak pada akhir tahun pajak. Hakikat Self Assessment System adalah penetapan sendiri besarnya pajak yang terutang oleh Wajib pajak. Pada sistem ini, masyarakat Wajib pajak diberikan kepercayaan dan tanggung jawab yang lebih besar untunk melaksanakan kewajibannya, yaitu menghitung, memperhitungkan, membayar serta melaporkan.
Sedangkan wajib pajak menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Perpajakan, wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemungut pajak dan  pemungut pajak yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Sebagaimana telah diketahui banyak wajib pajak terdaftar yang tidak memenuhi kewajiban perpajakannya. Oleh karena itu ada beberapa istilah seperti Wajib pajak Efektif dan wajib pajak Non Efektif. Adapun pengertian wajib pajak Efektif adalah wajib pajak yang memenuhi kewajiban perpajakannya, berupa memenuhi kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa dan atau Tahunan sebagaimana mestinya. Sedangkan wajib pajak Non Efektif adalah Wajib pajak yang tidak memenuhi kewajiban perpajakannya. Berdasarkan Surat Edaran SE-01/PJ.9/20 tentang Pengawasan Penyampaian SPT Tahunan disebutkan bahwa Jumlah wajib pajak efektif adalah selisih antara jumlah Wajib pajak terdaftar dengan jumlah wajib pajak non efektif.
Kewajiban wajib pajak:
1.  Mendaftarkan diri dan meminta Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) apabila belum mempunyai NPWP.
2.  Mengambil sendiri blangko Surat Pemberitahuan (SPT) dan blangko perpajakan lainnya di tempat-tempat yang ditentukan oleh DJP.
3.     Mengisi dengan lengkap, jelas dan benar dan menandatangani sendiri SPT dan kemudian mengembalikan SPT itu kepada kantor inspeksi pajak dilengkapi dengan lampiran-lampiran.
4.      Melakukan pelunasan dan melakukan pembayaran pajak yang ditentukan oleh Undang-Undang.
5.  Menghitung sendiri, menetapkan besarnya jumlah dan membayar pajak dalam tahun yang sedang berjalan, sesuai dengan pajak dari tahun terakhir atau sesuai dengan SKP yang dikeluarkan oleh DJP.
6.      Menghitung dan menetapkan sendiri pajak yang terutang menurut cara yang ditentukan.
7.      Menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan-pencatatan.
8.      Dalam hal terjadi pemeriksaan pajak, wajib pajak wajib:
  1. Memperlihatkan dan atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib pajak atau objek yang terutang pajak.
  2. Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan.
  3. Memberikan keterangan yang diperlukan.
9.      Apabila dalam mengungkapkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen serta keterangan yang diminta, wajib pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk merahasiakan, maka kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan oleh permintaan untuk keperluan pemeriksaan.
Hak-hak wajib pajak :
1.      Menerima tanda bukti pemasukan SPT.
2.      Mengajukan permohonan dan penundaan penyampaian SPT.
3.      Melakukan pembetulan sendiri SPT yang telah dimasukkan ke KPP.
4. Mengajukan permohonan penundaan dan pengangsuran pembayaran pajak sesuai dengan kemampuannya.
5.   Mengajukan permohonan perhitungan atau pengembalian kelebihan pembayaran pajak serta berhak memperoleh kepastian terbitnya surat keputusan kelebihan pembayaran pajak, surat keputusan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
6.      Mendapatkan kepastian batas ketetapan pajak yang terutang dan penerbitan Surat Pemberitaan.
7.    Mengajukan permohonan pembetulan salah tulis atau salah hitung atau kekeliruan yang terdapat dalam Surat Ketetapan Pajak (SKP) dalam penerapan peraturan perundang-undangan perpajakan.
8.      Mengajukan surat keberatan dan mohon kepastian terbitnya surat keputusan atas surat keberatannya.
9.      Mengajukan permohonan banding atas surat keputusan keberatan yang diterbitkan oleh DJP.
10. Mengajukan permohonan penghapusan dan pengurangan pengenaan sanksi perpajakan serta pembetulan ketetapan pajak yang salah atau keliru.
11. Memberikan kuasa khusus kepada orang yang dipercaya untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya.

B.     Kepatuhan dalam Membayar Pajak
Ismawan (2001:82) mengemukakan prinsip administrasi pajak yang diterima secara luas menyatakan bahwa tujuan yang ingin dicapai adalah kepatuhan sukarela. Kepatuhan sukarela merupakan tulang punggung sistem  self assessment di mana wajib pajak bertanggung jawab menetapkan sendiri kewajiban pajaknya dan kemudian secara akurat dan tepat waktu membayar dan melaporkan pajak tersebut.
Kepatuhan perpajakan yang dikemukakan oleh Norman D. Nowak sebagai ”suatu iklim” kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan tercermin dalam situasi (Devano, 2006:110) sebagai berikut :
a.       Wajib pajak paham atau berusaha untuk memahami semua
b.      ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan.
c.       Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas.
d.      Menghitung jumlah pajak yang rutang dengan benar.
e.       Membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya.
Kepatuhan sebagai fondasi self assessment dapat dicapai apabila elemen- elemen kunci telah diterapkan secara efektif. Elemen- elemen kunci (Ismawan, 2001:83) tersebut adalah sebagai berikut :
a.       Program pelayanan yang baik kepada wajib pajak.
b.      Prosedur yang sederhana dan memudahkan wajib pajak.
c.       Program pemantauan kepatuhan dan verifikasi yang efektif.
d.      Pemantapan law enforcement secara tegas dan adil.
Ada dua macam kepatuhan, yaitu kepatuhan formal dan kepatuhan material. Kepatuhan formal adalah suatu keadaan di mana wajib pajak memenuhi kewajiban secara formal sesuai dengan ketentuan dalam undang- undang perpajakan. Kepatuhan material adalah suatu keadaan di mana wajib pajak memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni sesuai dengan isi dan jiwa undang-undang perpajakan. Kepatuhan material dapat juga meliputi kepatuhan formal.
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 544/KMK.04/2000, wajib pajak dimasukkan dalam kategori wajib pajak patuh apabila memenuhi kriteria sebagai berikut :
a.   Tepat waktu dalam menyampaikan surat pemberitahuan untuk semua jenis pajak dalam dua tahun terakhir.
b.  Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak.
c.   Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dalam jangka waktu sepuluh tahun terakhir.
d.      Dalam dua tahun pajak terakhir menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 UU KUP dan dalam hal terhadap wajib pajak pernah dilakukan pemeriksaan, koreksi pada pemeriksaan yang terakhir untuk tiap-tiap jenis pajak yang terutang paling banyak 5%.
e.   Wajib pajak yang laporan keuangannya untuk dua tahun terakhir diaudit oleh akuntan publik dengan pendapat wajar tanpa pengecualian atau pendapat dengan pengecualian sepanjang tidak mempengaruhi laba rugi fiskal. Laporan auditnya harus disusun dalam bentuk panjang (long form report) yang menyajikan rekonsiliasi laba rugi komersial dan fiskal. Dalam hal wajib pajak yang laporan keuangannya tidak diadit oleh akuntan publik dipersyaratkan untuk memenuhi ketentuan pada huruf a, b, c, dan d di atas.

C.    Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kesadaran dan Kepedulian Sukarela Wajib Pajak
Salah satu ciri negara maju adalah jika kesadaran masyarakat membayar pajak tinggi, mendekati 100 persen Seandainya dari 50 juta yang belum bayar pajak, sudah membayar kewajibannya tentu Indonesia akan lebih maju dari sekarang. Berbagai pendekatan dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat kesadaran dan kepedulian sukarela Wajib pajak. Indikasi tingginya tingkat kesadaran dan kepedulian Wajib Pajak antara lain:
1.      Realisasi penerimaan pajak terpenuhi sesuai dengan target yang telah ditetapkan.
2.      Tingginya tingkat kepatuhan penyampaian SPT Tahunan dan SPT Masa.
3.      Tingginya Tax Ratio 
4.      Semakin Bertambahnya jumlah Wajib Pajak baru.
5.      Rendahnya jumlah tunggakan / tagihan wajib pajak.
6.   Tertib, patuh dan disiplin membayar pajak atau minimnya jumlah pelanggaran pemenuhan kewajiban perpajakan.
Dalam menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kesadaran dan kepedulian sukarela Wajib Pajak harus ditinjau terlebih dahulu ruang lingkup pembahasannya. Karena jika dibandingkan antara Wajib Pajak PPh, PPN dan PBB sangat berbeda karakter masyarakat Wajib Pajaknya. Hal ini juga dipengaruhi sistemnya dimana PBB dalam penghitungannya masih menganut sistem office assesment sedangkan yang non PBB sudah menganut self assesment.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kesadaran masyarakat untuk membayar pajak antara lain :
1.      Faktor yang cukup menonjol adalah kepemimpinan, kualitas pelayanan, dan motivasi. Pemimpin harus mampu menciptakan kemudahan untuk merangsang kesadaran yang dipimpin, dalam hal ini adalah kesadaran masyarakat untuk membayar Pajak Bumi dan Bangunan. Pelayanan masyarakat merupakan salah satu tugas lurah desa, memberi pelayanan yang berkualitas telah menjadi obsesi yang selalu ingin dicapai. Motivasi adalah dorongan agar orang mau melakukan sesuatu dengan ikhlas dengan sebaik-baiknya. Dan kepemimpinan yang baik, pelayanan yang berkualitas dan motivasi yang baik akan dapat mempengaruhi kesadaran masyarakat untuk membayar pajak.
2.      Faktor ekonomi/tingkat pendapatan. Sekretaris Kamar Dagang dan Industri (KADIN).
Faktor ekonomi merupakan hal yang sangat fundamental dalam hal melaksanakan kewajiban. Masyarakat yang miskin akan menemukan kesulitan untuk membayar pajak. Kebanyakan mereka akan memenuhi kebutuhan hidup terlebih dahulu sebelum membayar pajak. Karenanya tingkat pendapatan seseorang dapat mempengaruhi bagaimana seseorang tersebut memiliki kesadaran dan kepatuhan akan ketentuan hukum dan kewajibannya.
Faktor yang dapat menurunkan tingkat kesadaran dan kepedulian sukarela wajib pajak. Antara lain:
1.  Prasangka negatif kepada aparat perpajakan harus digantikan dengan prasangka positif. Sebab, prasangka negatif ini akan menyebabkan para wajib pajak bersikap defensif dan tertutup. Mereka akan cenderung menahan informasi dan tidak co operatif. Mereka akan berusaha memperkecil nilai pajak yang dikenakan pada mereka dengan memberikan informasi sesedikit mungkin. Perlu usaha keras dari lembaga perpajakan dan media massa untuk membantu menghilangkan prasangka negatif tersebut.
2.    Hambatan atau kurangnya intensitas kerjasama dengan Instansi lain (pihak ketiga) guna mendapatkan data mengenai potensi Wajib Pajak baru, terutama dengan instansi daerah atau bukan instansi vertikal.
3.   Bagi Calon Wajib Pajak, Sistem Self Assessment dianggap menguntungkan, sehingga sebagian besar mereka enggan untuk mendaftarkan dirinya bahkan menghindar dari kewajiban ber-NPWP. Data-data tentang dirinya selalu diupayakan untuk ditutupi sehingga tidak tersentuh oleh DJP.
4.    Masih sedikitnya informasi yang semestinya disebarkan dan dapat diterima masyarakat mengenai peranan pajak sebagai sumber penerimaan negara dan segi-segi positif lainnya.
5.   Adanya anggapan masyarakat bahwa timbal balik (kontra prestasi) pajak tidak bisa dinikmati secara langsung, bahkan wujud pembangunan sarana prasana belum merata, meluas, apalagi menyentuh pelosok tanah air.
6.   Adanya anggapan masyarakat bahwa tidak ada keterbukaan pemerintah terhadap penggunaan uang pajak

D.    Keterkaitan Kualitas Pelayanan dalam Sistem Self Assessment Berpengaruh dengan Upaya Menigkatkan Kepatuhan Wajib Pajak dalam Membayar Pajak
Kajian teori sistem pemungutan pajak berdasarkan self assessment menuntut kesadaran dan kepatuhan yang tinggi dari wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak dapat dilakukan melalui peningkatan kualitas pelayanan. Pelayanan adalah suatu proses bantuan kepada orang lain dengan cara-cara tertentu yang memerlukan kepekaan dan hubungan interpersonal agar tercipta kepuasan dan keberhasilan (Boediono, 2003: 60). Hakikat pelayanan umum adalah sebagai berikut.
1.   Meningkatkan mutu dan produktivitas pelaksanaan tugas dan instansi pemerintah di bidang pelayanan umum.
2.    Mendorong upaya mengefektifkan sistem dan tata laksana pelayanan sehingga pelayanan umum dapat diselenggarakan secara lebih berdaya guna dan  berhasil guna (efisien dan efektif).
3.   Mendorong tumbuhnya kreativitas, prakarsa, dan peran serta masyarakat dalam pembangunan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas.
Pelayanan yang berkualitas adalah pelayanan yang dapat memberikan kepuasan kepada pelanggan dan tetap dalam batas memenuhi standar pelayanan yang dapat dipertangungjawabkan serta harus dilakukan secara terus-menerus. Secara sederhana definisi kualitas adalah suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan pihak yang menginginkannya.
Dengan demikian, yang dikatakan kualitas di sini adalah kondisi dinamis yang bisa menghasilkan :
1.      Produk yang memenuhi atau melebihi harapan pelanggan;
2.      Jasa yang memenuhi atau melebihi harapan pelanggan;
3.      Suatu proses yang memenuhi atau melebihi harapan pelanggan;
4.      Lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan pelanggan.
Apabila jasa dari suatu instansi tidak memenuhi harapan pelanggan, berarti jasa pelayanan tidak berkualitas. Jika proses pelayanan tidak memenuhi harapan pelanggan, seperti berbelit-belit (tidak sederhana), berarti mutu pelayanannya kurang. Pelayanan kepada pelanggan dikatakan bermutu apabila memenuhi atau melebihi harapan pelanggan atau semakin kecil kesenjangan antara pemenuhan janji dengan harapan pelanggan adalah semakin mendekati ukuran bermutu.
Pengertian mutu dapat diartikan sebagai kinerja untuk standar yang diharapkan oleh pelanggan. Titik temu kebutuhan pelanggan juga diartikan sebagai mutu yang pertama dan setiap waktu. Menyediakan pelanggan dengan  jasa secara konsisten adalah pelayanan bermutu. Arti mutu tidak hanya memuaskan pelanggan, tetapi menyenangkan pelanggan, memberikan inovasi kepada pelanggan, dan membuat pelanggan menjadi kreatif.
Untuk menciptakan kualitas, pelayanan harus diproses secara terus-menerus dan prosesnya mengikuti jarum jam, yaitu dimulai dari apa yang dilakukan, menjelaskan bagaimana mengerjakannya, memperlihatkan bagaimana cara mengerjakan, diakhiri dengan menyediakan pembimbingan, dan mengoreksi, sementara mereka mengerjakan. Hakikat dari pelayanan umum yang berkualitas (Boediono B., 2003 : 3)  adalah sebagai berikut.
1.  Meningkatkan mutu dan produktivitas pelaksanaan tugas dan fungsi instansi   pemerintah di bidang pelayanan umum.
2.    Mendorong upaya mengefektifkan sistem dan tata laksana pelayanan sehingga pelayanan umum dapat diselenggarakan secara lebih berdaya guna dan berhasil guna (efisien dan efektif).
3.   Mendorong tumbuhnya kreativitas, prakarsa, dan peran serta masyarakat dalam pembangunan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas.
Rangkaian kegiatan terpadu yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan adalah sebagai berikut :
1.      Pelayanan umum yang sederhana
Pelayanan umum berkualitas apabila pelaksanaannya tidak menyulitkan, prosedurnya tidak banyak seluk-beluknya, persyaratan mudah dipenuhi pelanggan. Tidak bertele-tele, tidak mencari kesempatan dalam kesempitan.
2.      Pelayanan umum yang terbuka
Aparatur yang bertugas melayani pelanggan harus memberikan penjelasan sejujur-jujurnya, apa adanya dalam peraturan atau norma, jangan menakut-nakuti, jangan merasa berjasa dalam memberikan pelayanan agar tidak timbul keinginan mengharapkan imbalan dari pelanggan. Standar pelayanan harus diumumkan, ditempel pada pintu utama kantor.
3.      Pelayanan umum yang lancar
Untuk menjadi lancar diperlukan sarana yang menunjang kecepatan dalam menghasilkan output
4.      Pelayanan umum yang dapat menyajikan secara tepat
Yang dimaksud tepat di sini adalah tepat arah, tepat sasaran, tepat waktu, tepat jawaban, dan tepat dalam memenuhi janji. Misal kantor pelayanan pajak dalam melakukan penagihan pajak tepat pada waktu wajib pajak mempunyai uang.
5.      Pelayanan umum yang lengkap
Lengkap berarti tersedia apa yang diperlukan oleh pelanggan. Untuk dapat menjamin pelayanan berkualitas harus didukung sumber daya manusia dan sarana yang tersedia.
6.      Pelayanan umum yang wajar
Pelayanan umum yang wajar berarti tidak ditambah-tambah menjadi pelayanan yang bergaya mewah, tidak dibuat-buat, pelayanan biasa seperlunya sehingga tidak memberatkan pelanggan.
7.      Pelayanan umum yang terjangkau
Dalam memberikan pelayanan, uang retribusi dari pelayanan yang diberikan harus dapat dijangkau oleh pelanggan.
Pelayanan yang berkualitas harus dapat memberikan 4K, yaitu keamanan, kenyamanan, kelancaran, dan kepastian hukum. Kualitas pelayanan dapat diukur dengan kemampuan memberikan pelayanan yang memuaskan, dapat memberikan pelayanan dengan tanggapan, kemampuan, kesopanan, dan sikap dapat dipercaya yang dimiliki oleh aparat pajak. Di samping itu, juga kemudahan dalam melakukan hubungan komunikasi yang baik, memahami kebutuhan wajib pajak, tersedianya fasilitas fisik termasuk sarana komunikasi yang memadai, dan pegawai yang cakap dalam tugasnya. Kepatuhan wajib pajak dapat diukur dari pemahaman terhadap semua ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, mengisi formulir dengan lengkap dan jelas, menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar, membayar dan melaporkan  pajak yang terutang tepat pada waktunya.


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dapat disimpulkan bahwa untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya kualitas pelayanan harus ditingkatkan oleh aparat pajak. Pelayanan yang berkualitas harus diupayakan dapat memberikan 4 K yaitu keamanan, kenyamanan, kelancaran, dan kepastian hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.


DAFTAR PUSTAKA

Berita Pajak. No. 1551/ Tahun XXXVIII/ 15 November 2005. Jakarta: PT Ikrar Mandiri Abadi.
Boediono B. 2003. Pelayanan Prima Perpajakan. Jakarta : PT Rineka Cipta.
Devano Sony, Siti Kurnia Rahayu. 2006.  Perpajakan: Konsep, Teori, dan Isu. Jakarta : Prenada Media Group.
Ismawan Indra. 2001. Memahami Reformasi Perpajakan 2000. Jakarta : PT Elex Media Komputindo.
Mardiasmo. 2002. Perpajakan. Edisi Revisi Tahun 2002. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Soemitro Rochmat. 2004.  Asas dan Dasar Perpajakan 2. Bandung : PT Refika Aditama.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16, Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 6, Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Jakarta : Penerbit Buku Berita Pajak.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17, Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7, Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Jakarta : Penerbit Buku Berita Pajak.