MENINGKATKAN
KEPATUHAN WAJIB PAJAK MELALUI
KUALITAS
PELAYANAN DALAM SISTEM SELF ASSESSMENT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sumber-sumber
penerimaan negara dapat dikelompokkan menjadi penerimaan yang berasal dari
sektor Pajak, kekayaan alam, bea & cukai, retribusi, iuran, sumbangan, laba
dari Badan Usaha Milik Negara dan sumber-sumber lainnya. Pemungutan pajak telah
dilakukan sejak saat Negara Indonesia belum meraih kemerdekaannya hingga saat
sekarang ini, namun pada saat itu, istilah pajak belum digunakan, istilah yang
digunakan pada saat itu di antaranya adalah Upeti. Pajak merupakan salah satu
penghasil devisa terbesar bagi keuangan negara yang sangat berperan terutama
dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional, hasil dari pajak ini akan
dikelola dan kemudian akan digunakan kembali oleh Pemerintah untuk rakyat.
Dalam
menjalankan pemerintahan dan pembangunan, pemerintah membutuhkan dana yang
tidak sedikit. Dana tersebut dikumpulkan dari segenap potensi sumber daya yang
dimiliki suatu negara, baik berupa hasil kekayaan alam maupun iuran dari
masyarakat. Salah satu bentuk iuran masyarakat adalah pajak. Sebagai salah satu
unsur penerimaan negara, pajak memiliki peran yang sangat besar dan semakin
diandalkan untuk kepentingan pembangunan dan pengeluaran pemerintahan.
Kontribusi
penerimaan pajak terhadap penerimaan negara diharapkan semakin meningkat dari
tahun ke tahun. Salah satu penyebab peningkatan penerimaan pajak adalah karena
sejak tahun fiskal 1984 pemerintah memberlakukan reformasi perpajakan dengan
menerapkan sistem self assessment dalam pemungutan pajak. Berbeda dengan sistem
pemungutan pajak sebelumnya, yaitu official assessment system. Sistem self
assessment memberikan kepercayaan penuh kepada wajib pajak untuk menghitung,
memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan seluruh pajak yang menjadi kewajibannya.
Dengan kata lain, wajib pajak menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.
Salah
satu upaya dalam meningkatkan kepatuhan wajib pajak adalah memberikan pelayanan
yang baik kepada wajib pajak. Peningkatan kualitas dan kuantitas pelayanan diharapkan
dapat meningkatkan kepuasan kepada wajib pajak sebagai pelanggan sehingga
meningkatkan kepatuhan dalam bidang perpajakan. Paradigma baru yang menempatkan
aparat pemerintah sebagai abdi negara dan masyarakat (wajib pajak) harus
diutamakan agar dapat meningkatkan kinerja pelayanan publik.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah “Keterkaitan Kualitas Pelayanan Dalam
Sistem Self Assessment dengan Upaya Meningkatkan Kepatuhan Wajib Pajak dalam
Membayar Pajak”.
C. Tujuan Penulisan
Tujuan
dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui bahwa kualitas pelayanan
dalam sistem self assessment berpengaruh dengan upaya menigkatkan kepatuhan
wajib pajak dalam membayar pajak.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sistem Pemungutan Pajak
Sistem
pemungutan pajak dapat dibagi menjadi tiga, yaitu official assesment system,
self assessment system, dan withholding system. Official assessment system
adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya
pajak yang terutang. Self assessment system adalah suatu sistem pemungutan
pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada wajib pajak
untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya
pajak yang harus dibayar. Withholding System adalah suatu sistem pemungutan
pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut
besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.
Sistem
Self Assessment adalah suatu sistem yang memberikan kepercayaan dan tanggung
jawab kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan dan membayar sendiri
jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.
Selain itu Wajib pajak diwajibkan pula melaporkan secara teratur jumlah pajak
yang terutang dan telah dibayar sebagaimana ditentukan dalam peraturan
perpajakan. Pembayaran pajak selama tahun berjalan pada dasarnya merupakan
angsuran pajak untuk meringankan beban wajib pajak pada akhir tahun pajak.
Hakikat Self Assessment System adalah penetapan sendiri besarnya pajak
yang terutang oleh Wajib pajak. Pada sistem ini, masyarakat Wajib pajak
diberikan kepercayaan dan tanggung jawab yang lebih besar untunk melaksanakan
kewajibannya, yaitu menghitung, memperhitungkan, membayar serta melaporkan.
Sedangkan
wajib pajak menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga
Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Perpajakan, wajib
pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemungut pajak
dan pemungut pajak yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Sebagaimana
telah diketahui banyak wajib pajak terdaftar yang tidak memenuhi kewajiban
perpajakannya. Oleh karena itu ada beberapa istilah seperti Wajib pajak Efektif
dan wajib pajak Non Efektif. Adapun pengertian wajib pajak Efektif adalah wajib
pajak yang memenuhi kewajiban perpajakannya, berupa memenuhi kewajiban
menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa dan atau Tahunan sebagaimana
mestinya. Sedangkan wajib pajak Non Efektif adalah Wajib pajak yang tidak
memenuhi kewajiban perpajakannya. Berdasarkan Surat Edaran SE-01/PJ.9/20 tentang Pengawasan Penyampaian SPT
Tahunan disebutkan bahwa Jumlah wajib pajak efektif adalah selisih antara
jumlah Wajib pajak terdaftar dengan jumlah wajib pajak non efektif.
Kewajiban
wajib pajak:
1. Mendaftarkan diri dan meminta Nomor
Pokok Wajib Pajak (NPWP) apabila belum mempunyai NPWP.
2. Mengambil sendiri blangko Surat
Pemberitahuan (SPT) dan blangko perpajakan lainnya di tempat-tempat yang
ditentukan oleh DJP.
3. Mengisi dengan lengkap, jelas dan benar
dan menandatangani sendiri SPT dan kemudian mengembalikan SPT itu kepada kantor
inspeksi pajak dilengkapi dengan lampiran-lampiran.
4.
Melakukan pelunasan dan melakukan
pembayaran pajak yang ditentukan oleh Undang-Undang.
5. Menghitung sendiri, menetapkan besarnya
jumlah dan membayar pajak dalam tahun yang sedang berjalan, sesuai dengan pajak
dari tahun terakhir atau sesuai dengan SKP yang dikeluarkan oleh DJP.
6.
Menghitung dan menetapkan sendiri pajak
yang terutang menurut cara yang ditentukan.
7.
Menyelenggarakan pembukuan atau
pencatatan-pencatatan.
8.
Dalam hal terjadi pemeriksaan pajak, wajib
pajak wajib:
- Memperlihatkan
dan atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya dan
dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan
usaha, pekerjaan bebas Wajib pajak atau objek yang terutang pajak.
- Memberikan
kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan
memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan.
- Memberikan
keterangan yang diperlukan.
9.
Apabila dalam mengungkapkan pembukuan,
pencatatan, atau dokumen serta keterangan yang diminta, wajib pajak terikat
oleh suatu kewajiban untuk merahasiakan, maka kewajiban untuk merahasiakan itu
ditiadakan oleh permintaan untuk keperluan pemeriksaan.
Hak-hak wajib pajak :
1.
Menerima tanda bukti pemasukan SPT.
2.
Mengajukan permohonan dan penundaan
penyampaian SPT.
3.
Melakukan pembetulan sendiri SPT yang
telah dimasukkan ke KPP.
4. Mengajukan permohonan penundaan dan
pengangsuran pembayaran pajak sesuai dengan kemampuannya.
5. Mengajukan permohonan perhitungan atau
pengembalian kelebihan pembayaran pajak serta berhak memperoleh kepastian
terbitnya surat keputusan kelebihan pembayaran pajak, surat keputusan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
6.
Mendapatkan kepastian batas ketetapan
pajak yang terutang dan penerbitan Surat Pemberitaan.
7. Mengajukan permohonan pembetulan salah
tulis atau salah hitung atau kekeliruan yang terdapat dalam Surat Ketetapan
Pajak (SKP) dalam penerapan peraturan perundang-undangan perpajakan.
8.
Mengajukan surat keberatan dan mohon
kepastian terbitnya surat keputusan atas surat keberatannya.
9.
Mengajukan permohonan banding atas surat
keputusan keberatan yang diterbitkan oleh DJP.
10. Mengajukan
permohonan penghapusan dan pengurangan pengenaan sanksi perpajakan serta
pembetulan ketetapan pajak yang salah atau keliru.
11. Memberikan
kuasa khusus kepada orang yang dipercaya untuk melaksanakan kewajiban
perpajakannya.
B. Kepatuhan dalam Membayar Pajak
Ismawan
(2001:82) mengemukakan prinsip administrasi pajak yang diterima secara luas
menyatakan bahwa tujuan yang ingin dicapai adalah kepatuhan sukarela. Kepatuhan
sukarela merupakan tulang punggung sistem
self assessment di mana wajib pajak bertanggung jawab menetapkan sendiri
kewajiban pajaknya dan kemudian secara akurat dan tepat waktu membayar dan
melaporkan pajak tersebut.
Kepatuhan
perpajakan yang dikemukakan oleh Norman D. Nowak sebagai ”suatu iklim”
kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan tercermin dalam situasi
(Devano, 2006:110) sebagai berikut :
a.
Wajib pajak paham atau berusaha untuk
memahami semua
b.
ketentuan peraturan perundang- undangan
perpajakan.
c.
Mengisi formulir pajak dengan lengkap
dan jelas.
d.
Menghitung jumlah pajak yang rutang
dengan benar.
e.
Membayar pajak yang terutang tepat pada
waktunya.
Kepatuhan
sebagai fondasi self assessment dapat dicapai apabila elemen- elemen kunci
telah diterapkan secara efektif. Elemen- elemen kunci (Ismawan, 2001:83)
tersebut adalah sebagai berikut :
a.
Program pelayanan yang baik kepada wajib
pajak.
b.
Prosedur yang sederhana dan memudahkan
wajib pajak.
c.
Program pemantauan kepatuhan dan
verifikasi yang efektif.
d.
Pemantapan law enforcement secara tegas
dan adil.
Ada
dua macam kepatuhan, yaitu kepatuhan formal dan kepatuhan material. Kepatuhan
formal adalah suatu keadaan di mana wajib pajak memenuhi kewajiban secara
formal sesuai dengan ketentuan dalam undang- undang perpajakan. Kepatuhan
material adalah suatu keadaan di mana wajib pajak memenuhi semua ketentuan
material perpajakan, yakni sesuai dengan isi dan jiwa undang-undang perpajakan.
Kepatuhan material dapat juga meliputi kepatuhan formal.
Berdasarkan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 544/KMK.04/2000, wajib pajak dimasukkan dalam
kategori wajib pajak patuh apabila memenuhi kriteria sebagai berikut :
a. Tepat waktu dalam menyampaikan surat
pemberitahuan untuk semua jenis pajak dalam dua tahun terakhir.
b. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk
semua jenis pajak, kecuali telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda
pembayaran pajak.
c. Tidak pernah dijatuhi hukuman karena
melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dalam jangka waktu sepuluh tahun
terakhir.
d.
Dalam dua tahun pajak terakhir
menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 UU KUP dan dalam
hal terhadap wajib pajak pernah dilakukan pemeriksaan, koreksi pada pemeriksaan
yang terakhir untuk tiap-tiap jenis pajak yang terutang paling banyak 5%.
e. Wajib pajak yang laporan keuangannya
untuk dua tahun terakhir diaudit oleh akuntan publik dengan pendapat wajar
tanpa pengecualian atau pendapat dengan pengecualian sepanjang tidak
mempengaruhi laba rugi fiskal. Laporan auditnya harus disusun dalam bentuk
panjang (long form report) yang menyajikan rekonsiliasi laba rugi komersial dan
fiskal. Dalam hal wajib pajak yang laporan keuangannya tidak diadit oleh
akuntan publik dipersyaratkan untuk memenuhi ketentuan pada huruf a, b, c, dan
d di atas.
C. Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Tingkat Kesadaran dan
Kepedulian Sukarela Wajib Pajak
Salah
satu ciri negara maju adalah jika kesadaran masyarakat membayar pajak tinggi,
mendekati 100 persen Seandainya dari 50 juta yang belum bayar pajak, sudah
membayar kewajibannya tentu Indonesia akan lebih maju dari
sekarang. Berbagai pendekatan dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat
kesadaran dan kepedulian sukarela Wajib pajak. Indikasi tingginya tingkat
kesadaran dan kepedulian Wajib Pajak antara lain:
1. Realisasi
penerimaan pajak terpenuhi sesuai dengan target yang telah ditetapkan.
2. Tingginya
tingkat kepatuhan penyampaian SPT Tahunan dan SPT Masa.
3. Tingginya
Tax Ratio
4. Semakin
Bertambahnya jumlah Wajib Pajak baru.
5. Rendahnya
jumlah tunggakan / tagihan wajib pajak.
6. Tertib,
patuh dan disiplin membayar pajak atau minimnya jumlah pelanggaran pemenuhan
kewajiban perpajakan.
Dalam menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat
kesadaran dan kepedulian sukarela Wajib Pajak harus ditinjau terlebih dahulu
ruang lingkup pembahasannya. Karena jika dibandingkan antara Wajib Pajak PPh,
PPN dan PBB sangat berbeda karakter masyarakat Wajib Pajaknya. Hal ini juga
dipengaruhi sistemnya dimana PBB dalam penghitungannya masih menganut sistem
office assesment sedangkan yang non PBB sudah menganut self assesment.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kesadaran masyarakat untuk
membayar pajak antara lain :
1. Faktor
yang cukup menonjol adalah kepemimpinan, kualitas pelayanan, dan motivasi.
Pemimpin harus mampu menciptakan kemudahan untuk merangsang kesadaran yang dipimpin,
dalam hal ini adalah kesadaran masyarakat untuk membayar Pajak Bumi dan
Bangunan. Pelayanan masyarakat merupakan salah satu tugas lurah desa, memberi
pelayanan yang berkualitas telah menjadi obsesi yang selalu ingin dicapai.
Motivasi adalah dorongan agar orang mau melakukan sesuatu dengan ikhlas dengan
sebaik-baiknya. Dan kepemimpinan yang baik, pelayanan yang berkualitas dan
motivasi yang baik akan dapat mempengaruhi kesadaran masyarakat untuk membayar pajak.
2. Faktor
ekonomi/tingkat pendapatan. Sekretaris Kamar Dagang dan Industri (KADIN).
Faktor ekonomi
merupakan hal yang sangat fundamental dalam hal melaksanakan kewajiban.
Masyarakat yang miskin akan menemukan kesulitan untuk membayar pajak.
Kebanyakan mereka akan memenuhi kebutuhan hidup terlebih dahulu sebelum
membayar pajak. Karenanya tingkat pendapatan seseorang dapat mempengaruhi
bagaimana seseorang tersebut memiliki kesadaran dan kepatuhan akan ketentuan
hukum dan kewajibannya.
Faktor yang dapat menurunkan tingkat kesadaran dan kepedulian
sukarela wajib pajak. Antara lain:
1. Prasangka
negatif kepada aparat perpajakan harus digantikan dengan prasangka positif.
Sebab, prasangka negatif ini akan menyebabkan para wajib pajak bersikap
defensif dan tertutup. Mereka akan cenderung menahan informasi dan tidak co
operatif. Mereka akan berusaha memperkecil nilai pajak yang dikenakan pada
mereka dengan memberikan informasi sesedikit mungkin. Perlu usaha keras dari
lembaga perpajakan dan media massa untuk membantu menghilangkan prasangka
negatif tersebut.
2. Hambatan
atau kurangnya intensitas kerjasama dengan Instansi lain (pihak ketiga) guna
mendapatkan data mengenai potensi Wajib Pajak baru, terutama dengan instansi
daerah atau bukan instansi vertikal.
3. Bagi
Calon Wajib Pajak, Sistem Self Assessment dianggap menguntungkan, sehingga
sebagian besar mereka enggan untuk mendaftarkan dirinya bahkan menghindar dari
kewajiban ber-NPWP. Data-data tentang dirinya selalu diupayakan untuk ditutupi
sehingga tidak tersentuh oleh DJP.
4. Masih
sedikitnya informasi yang semestinya disebarkan dan dapat diterima masyarakat
mengenai peranan pajak sebagai sumber penerimaan negara dan segi-segi positif
lainnya.
5. Adanya
anggapan masyarakat bahwa timbal balik (kontra prestasi) pajak tidak bisa
dinikmati secara langsung, bahkan wujud pembangunan sarana prasana belum
merata, meluas, apalagi menyentuh pelosok tanah air.
6. Adanya
anggapan masyarakat bahwa tidak ada keterbukaan pemerintah terhadap penggunaan
uang pajak
D. Keterkaitan Kualitas Pelayanan
dalam Sistem Self Assessment Berpengaruh dengan Upaya Menigkatkan Kepatuhan
Wajib Pajak dalam Membayar Pajak
Kajian
teori sistem pemungutan pajak berdasarkan self assessment menuntut kesadaran
dan kepatuhan yang tinggi dari wajib pajak dalam memenuhi kewajiban
perpajakannya. Untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak dapat dilakukan melalui
peningkatan kualitas pelayanan. Pelayanan adalah suatu proses bantuan kepada
orang lain dengan cara-cara tertentu yang memerlukan kepekaan dan hubungan
interpersonal agar tercipta kepuasan dan keberhasilan (Boediono, 2003: 60).
Hakikat pelayanan umum adalah sebagai berikut.
1. Meningkatkan mutu dan produktivitas
pelaksanaan tugas dan instansi pemerintah di bidang pelayanan umum.
2. Mendorong upaya mengefektifkan sistem
dan tata laksana pelayanan sehingga pelayanan umum dapat diselenggarakan secara
lebih berdaya guna dan berhasil guna
(efisien dan efektif).
3. Mendorong tumbuhnya kreativitas,
prakarsa, dan peran serta masyarakat dalam pembangunan serta meningkatkan
kesejahteraan masyarakat luas.
Pelayanan
yang berkualitas adalah pelayanan yang dapat memberikan kepuasan kepada
pelanggan dan tetap dalam batas memenuhi standar pelayanan yang dapat
dipertangungjawabkan serta harus dilakukan secara terus-menerus. Secara
sederhana definisi kualitas adalah suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan
produk, jasa manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan
pihak yang menginginkannya.
Dengan
demikian, yang dikatakan kualitas di sini adalah kondisi dinamis yang bisa
menghasilkan :
1.
Produk yang memenuhi atau melebihi
harapan pelanggan;
2.
Jasa yang memenuhi atau melebihi harapan
pelanggan;
3.
Suatu proses yang memenuhi atau melebihi
harapan pelanggan;
4.
Lingkungan yang memenuhi atau melebihi
harapan pelanggan.
Apabila
jasa dari suatu instansi tidak memenuhi harapan pelanggan, berarti jasa
pelayanan tidak berkualitas. Jika proses pelayanan tidak memenuhi harapan
pelanggan, seperti berbelit-belit (tidak sederhana), berarti mutu pelayanannya
kurang. Pelayanan kepada pelanggan dikatakan bermutu apabila memenuhi atau melebihi
harapan pelanggan atau semakin kecil kesenjangan antara pemenuhan janji dengan
harapan pelanggan adalah semakin mendekati ukuran bermutu.
Pengertian
mutu dapat diartikan sebagai kinerja untuk standar yang diharapkan oleh
pelanggan. Titik temu kebutuhan pelanggan juga diartikan sebagai mutu yang
pertama dan setiap waktu. Menyediakan pelanggan dengan jasa secara konsisten adalah pelayanan
bermutu. Arti mutu tidak hanya memuaskan pelanggan, tetapi menyenangkan
pelanggan, memberikan inovasi kepada pelanggan, dan membuat pelanggan menjadi
kreatif.
Untuk
menciptakan kualitas, pelayanan harus diproses secara terus-menerus dan
prosesnya mengikuti jarum jam, yaitu dimulai dari apa yang dilakukan,
menjelaskan bagaimana mengerjakannya, memperlihatkan bagaimana cara mengerjakan,
diakhiri dengan menyediakan pembimbingan, dan mengoreksi, sementara mereka
mengerjakan. Hakikat dari pelayanan umum yang berkualitas (Boediono B., 2003 :
3) adalah sebagai berikut.
1. Meningkatkan mutu dan produktivitas
pelaksanaan tugas dan fungsi instansi
pemerintah di bidang pelayanan umum.
2. Mendorong upaya mengefektifkan sistem
dan tata laksana pelayanan sehingga pelayanan umum dapat diselenggarakan secara
lebih berdaya guna dan berhasil guna (efisien dan efektif).
3. Mendorong tumbuhnya kreativitas,
prakarsa, dan peran serta masyarakat dalam pembangunan serta meningkatkan
kesejahteraan masyarakat luas.
Rangkaian
kegiatan terpadu yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan adalah
sebagai berikut :
1.
Pelayanan umum yang sederhana
Pelayanan umum berkualitas apabila
pelaksanaannya tidak menyulitkan, prosedurnya tidak banyak seluk-beluknya, persyaratan
mudah dipenuhi pelanggan. Tidak bertele-tele, tidak mencari kesempatan dalam
kesempitan.
2.
Pelayanan umum yang terbuka
Aparatur yang bertugas melayani
pelanggan harus memberikan penjelasan sejujur-jujurnya, apa adanya dalam
peraturan atau norma, jangan menakut-nakuti, jangan merasa berjasa dalam
memberikan pelayanan agar tidak timbul keinginan mengharapkan imbalan dari
pelanggan. Standar pelayanan harus diumumkan, ditempel pada pintu utama kantor.
3.
Pelayanan umum yang lancar
Untuk menjadi lancar diperlukan
sarana yang menunjang kecepatan dalam menghasilkan output
4.
Pelayanan umum yang dapat menyajikan
secara tepat
Yang dimaksud tepat di sini adalah
tepat arah, tepat sasaran, tepat waktu, tepat jawaban, dan tepat dalam memenuhi
janji. Misal kantor pelayanan pajak dalam melakukan penagihan pajak tepat pada
waktu wajib pajak mempunyai uang.
5.
Pelayanan umum yang lengkap
Lengkap berarti tersedia apa yang
diperlukan oleh pelanggan. Untuk dapat menjamin pelayanan berkualitas harus
didukung sumber daya manusia dan sarana yang tersedia.
6.
Pelayanan umum yang wajar
Pelayanan umum yang wajar berarti
tidak ditambah-tambah menjadi pelayanan yang bergaya mewah, tidak dibuat-buat,
pelayanan biasa seperlunya sehingga tidak memberatkan pelanggan.
7.
Pelayanan umum yang terjangkau
Dalam memberikan pelayanan, uang
retribusi dari pelayanan yang diberikan harus dapat dijangkau oleh pelanggan.
Pelayanan
yang berkualitas harus dapat memberikan 4K, yaitu keamanan, kenyamanan,
kelancaran, dan kepastian hukum. Kualitas pelayanan dapat diukur dengan
kemampuan memberikan pelayanan yang memuaskan, dapat memberikan pelayanan
dengan tanggapan, kemampuan, kesopanan, dan sikap dapat dipercaya yang dimiliki
oleh aparat pajak. Di samping itu, juga kemudahan dalam melakukan hubungan
komunikasi yang baik, memahami kebutuhan wajib pajak, tersedianya fasilitas
fisik termasuk sarana komunikasi yang memadai, dan pegawai yang cakap dalam
tugasnya. Kepatuhan wajib pajak dapat diukur dari pemahaman terhadap semua
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, mengisi formulir dengan
lengkap dan jelas, menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar, membayar
dan melaporkan pajak yang terutang tepat
pada waktunya.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan
dapat disimpulkan bahwa untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi
kewajiban perpajakannya kualitas pelayanan harus ditingkatkan oleh aparat
pajak. Pelayanan yang berkualitas harus diupayakan dapat memberikan 4 K yaitu
keamanan, kenyamanan, kelancaran, dan kepastian hukum yang dapat
dipertanggungjawabkan.
DAFTAR
PUSTAKA
Berita Pajak. No. 1551/ Tahun XXXVIII/ 15 November
2005. Jakarta: PT Ikrar Mandiri Abadi.
Boediono B. 2003. Pelayanan Prima Perpajakan.
Jakarta : PT Rineka Cipta.
Devano Sony, Siti Kurnia Rahayu. 2006. Perpajakan: Konsep, Teori, dan Isu. Jakarta :
Prenada Media Group.
Ismawan Indra. 2001. Memahami Reformasi Perpajakan
2000. Jakarta : PT Elex Media Komputindo.
Mardiasmo. 2002. Perpajakan. Edisi Revisi Tahun
2002. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Soemitro Rochmat. 2004. Asas dan Dasar Perpajakan 2. Bandung : PT
Refika Aditama.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16, Tahun
2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 6, Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Jakarta : Penerbit Buku Berita Pajak.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17, Tahun
2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7, Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan. Jakarta : Penerbit Buku Berita Pajak.
Hai. aku juga punya materi yang berhubungan dengan wajib pajak. kunjungi saja di. http://repository.gunadarma.ac.id/bitstream/123456789/503/1/kartawan_108-116.pdf
BalasHapus